Thursday, August 27, 2015

CINTA KASIH TANPA IKATAN


Saudaraku,…
Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini amat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa “tidak sendirian”. Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas daripada “sendirian” itu.

Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani maupun rohaniah, sendiri tanpa siapapun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian daripada keheningan itu?

Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan “kita”! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi. Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi.

Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian. Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan menjauhi ketidaksenangan, pikiran ini yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada.

Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali! Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup! Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas daripada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, makin besar rasa takut dan makin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan timbul rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?

Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas daripada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya! Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian?

Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan. Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang.



Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo



No comments:

Post a Comment

DENDAM DAN KEKEJAMAN

Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencia...