Saudaraku,..
Apa yang kita
namakan cinta antara pria dan wanita, itu selalu mendatangkan dua hal yang
bertentangan, puas atau kecewa, senang atau susah. Ini membuktikan bahwa yang
kita agung-agungkan itu sesungguhnya hanyalah nafsu belaka. Nafsu adalah
gairah, adalah "si aku yang ingin senang.” Nafsu selalu berpamrih, karena
bersumber kepada pikiran yang menciptakan si aku lewat pengalaman dan
pengetahuan. Pamrihnya hanya satu, walaupun kadang terselubung dan mengenakan
beribu macam kedok, yaitu ingin mencapai sesuatu, ingin mendapatkan sesuatu, dan
"sesuatu" ini pasti yang menyenangkan dirinya. Tidaklah mengherankan
kalau kemudian muncul kecewa dan duka kalau keinginan itu tidak tercapai. Kalau
terlaksana keinginan itu, terdapatlah kepuasan. Tetapi ini hanyalah kepuasan yang
sementara. Karena nafsu selalu menghendaki lebih. Bukti bahwa yang kita anggap
sebagai "cinta suci” antara pria dan wanita itu pada hakekatnya hanyalah
nafsu, dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh cinta itu. Cinta antara
pria dan wanita dimulai dari pandang mata, saling melihat. Dari sini timbul
perasaan tertarik, karena apa yang dilihatnya itu menyenangkan hatinya, cocok
dengan seleranya. Setelah saling tertarik, timbul keinginan untuk saling
memiliki. Kemudian bermunculan akibat nafsu ini. Cemburu, patah hati, duka,
benci, pertentangan dan sebagainya. Betapa banyaknya dua orang yang tadinya
bersumpah saling mencinta sampai mati, setelah menjadi suami isteri bertengkar
setiap hari, bahkan berakhir dengan perceraian dan saling benci! Sungguh aneh
kalau cinta kasih murni berakhir menjadi kebencian. Kalau nafsu, sama sekali
tidak mengherankan kalau kemudian mendatangkan akibat duka dan kebencian.
Banyak orang
melihat kenyataan ini! Mereka melihat bahayanya nafsu yang berselubung sebagai
“cinta suci” ini, dan untuk menghindarkan diri dari duka, untuk membikin putus
ikatan ini, ada orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari asmara ini.
Mereka tidak mau melakukan hubungan antara pria dan wanita, menjadi perjaka
atau perawan selama hidup, tidak mau atau pantang melakukan hubungan sex.
Apakah dengan cara demikian berarti mereka telah terbebas dari nafsu? Apakah
nafsu itu hanya muncul melalui gairah berahi saja? Apakah kalau sudah begitu
kita akan dapat bebas dari duka? Bagaimana dengan nafsu dalam bentuk lain,
keinginan si aku dalam bentuk lain? Masih ada seribu satu macam cara bagi si
aku untuk mengejar keinginannya. Bahkan satu di antaranya adalah
"keinginan bebas dari nafsu sex" itulah! Keinginan memuaskan nafsu
dan keinginan menjauhi nafsu datang dari sumber yang sama! Sumbernya adalah
si-aku yang ingin! Pamrihnya adalah kesenangan bagi si aku. Karena menyadari
bahwa menuruti nafsu menimbulkan duka, maka si aku lalu berkeinginan untuk
menjauhi nafsu, tentu saja pamrihnya agar jangan mengalami duka, dan hal ini
tentu akan menyenangkan!
Demikian
pandainya nafsu daya rendah mempermainkan kita! Demikian pandainya bersalin
rupa, sehingga kita sering kali terkecoh. Hati dan akal pikiran kita sudah
bergelimang daya rendah, maka apapun yang dihasilkan hati dan akal pikiran, sudah
terpengaruh nafsu. Mengapa seluruh badan ini luar dalam bergelimang nafsu?
Karena sudah kodratnya demikian! Selama jiwa bersemeyam di dalam badan, agar
dapat hidup, badan harus disertai nafsu-nafsu daya rendah. Tanpa adanya nafsu
daya rendah, badan akan binasa. Badan kita ini dapat hidup karena
ketergantungan kepada banyak benda. Kita butuh makanan, kita butuh benda-benda,
kita butuh orang lain. Kita tidak mungkin dapat terbebas dari ikatan-ikatan
dengan daya-daya rendah yang sesungguhnya merupakan alat hidup, merupakan
sarana hidup, bahkan kebutuhan mutlak bagi kehidupan. Ini sudah kodratnya,
sudah kehendak Tuhan begitu. Kita tidak mungkin mengingkari ini. Nafsu yang
kita namakan nafsu sex merupakan kodrat pula. Kita tidak mungkin
melenyapkannya, kalau kita menghendaki manusia masih berkelanjutan hidup di
dunia ini. Nafsu sex hanya merupakan alat, merupakah sarana perkembang-biakan
mahluk manusia. Kalau terdapat kenikmatan di situ, hal itu merupakan anugerah
Tuhan yang patut kita syukuri.
Karena seluruh
badan kita luar dalam sudah bergelimang nafsu, hati dan akal pikiran kita sudah
bergelimang nafsu rendah, maka badan dan batin kita di kuasai nafsu, menjadi
hamba nafsu. Padahal, nafsu daya rendah itu seharusnya yang mehjadi alat kita,
menjadi hamba kita, menjadi pelayan kita. Lalu bagaimana kita dapat membebaskan
diri dari cengkeraman nafsu, kalau "kita" ini adalah hati dan akal
pikiran yang bergeli mang nafsu?
Hanya satu
kekuasaan saja yang akan mampu mengatur, yang akan mampu merubah, yang akan
mampu mengembalikan nafsu daya rendah ke dalam tempatnya semula, mengembalikan
nafsu daya rendah kepada tempat dan tugasnya yang benar, yaitu sebagai pelayan
dalam kehidupan. Kekuasaan itu adalah kekuasaan Tuhan, kekuasaan yang
menciptakan nafsu daya rendah, yang menciptakan segala sesuatu di alam mayapada
ini! Dan kita? Hanya menyerah! Menyerah dengan sepenuhnya, menyerah dengan
ikhlas, dengan tawakal, dengan pasrah. Menyerah sebulatnya dengan mutlak, tanpa
adanya hati akal pikiran yang mencampuri.
Yang ada hanya
penyerahan. Yang ada hanya kepasrahan. Yang ada hanya pengamatan, penerimaan
tanpa disertai keinginan hati akal pikiran. Menyerah dan menerima, merasakan
dan waspada, bukan "aku" yang waspada.
Tulisan ini dikutip dari :
http://souldiaryoflove.blogspot.com/
Picture Source :
No comments:
Post a Comment