Saudaraku,…
Sebuah perkataan yang sia-sia dapat menjerumuskan kita ke
dalam keburukan yang menistakan. Ucapan dan perkataan memang memiliki kekuatan
yang luar biasa. Sejarah dunia mengungkapkan kata-kata bersemangat pemimpin
dunia mampu membangun sebuah revolusi yang merubah dunia. Bangsa ini memiliki beberapa tokoh yang mampu
mendayagunakan perkataan bermanfaat untuk menggedor perjuangan mencapai
kemerdekaan. Kata-kata Bung Toha dan Bung Karno pada waktu perjuangan
kemerdekaan adalah kata-kata bermanfaat yang membangun spirit melawan
penindasan terhadap Negara kita. Di dalam sejarah Islam pun tidak sedikit tokoh-tokoh
perjuanga Islam yang mampu membangun spirit menegakkan bendera Islam di manapun
mereka menjejakkan kakinya.
Tapi bagaimanakah jika kata-kata tidak lebih hanyalah
buih-buih gelombang di lautan? Atau bahkan lebih buruk, kata-kata hanyalah
kesia-siaan penggunaan waktu oleh manusia. Untuk yang satu ini, maka yang
paling baik adalah diam. Dalam beberapa hal diam jauh lebih baik daripada
berkata-kata.
Kelemahan manusia umumnya terletak pada ketidakmampuan
untuk mengendalikan lidahnya dalam kebaikan. Dusta selalu terlahir dari
perbincangan sia-sia diantara para manusia. Pada awalnya seseorang mungkin berbicara
tentang kebaikan, tapi lidah sungguh tak bertulang. Entah dengan alas an dan
tujuan apa, ia kemudian mempergunjingkan keburukan orang lain atau
kebohongan-kebohongan lain yang tidak terpikirkan sebelumnya. Karena itulah
orang-orang yang beriman dihimbau Rasulullah Muhammad Saw untuk diam saja
apabila mulut tidak mampu berucap kebaikan.
Dalam sebuah kisah diceritakan mengenai seorang lelaki miskin yang mencari
nafkahnya hanya dengan mengumpulkan kayu bakar lalu menjualnya di pasar. Hasil
yang ia dapatkan hanya cukup untuk makan. Bahkan, kadang-kadang tak mencukupi
kebutuhannya. Tetapi, ia terkenal sebagai orang yang sabar.
Pada suatu hari, seperti biasanya dia pergi ke hutan untuk mengumpulkan
kayu bakar. Setelah cukup lama dia berhasil mengumpulkan sepikul besar kayu
bakar. Ia lalu memikulnya di pundaknya sambil berjalan menuju pasar. Setibanya
di pasar ternyata orang-orang sangat ramai dan agak berdesakan. Karena khawatir
orang-orang akan terkena ujung kayu yang agak runcing, ia lalu berteriak,
"Minggir... minggir! kayu bakar mau lewat!."
Orang-orang pada minggir memberinya jalan dan agar mereka tidak terkena
ujung kayu. Sementara, ia terus berteriak mengingatkan orang. Tiba-tiba lewat
seorang bangsawan kaya raya di hadapannya tanpa mempedulikan peringatannya.
Kontan saja ia kaget sehingga tak sempat menghindarinya. Akibatnya, ujung kayu
bakarnya itu tersangkut di baju bangsawan itu dan merobeknya. Bangsawan itu
langsung marah-marah kepadanya, dan tak menghiraukan keadaan si penjual kayu
bakar itu. Tak puas dengan itu, ia kemudian menyeret lelaki itu ke hadapan
hakim. Ia ingin menuntut ganti rugi atas kerusakan bajunya.
Sesampainya di hadapan hakim, orang kaya itu lalu menceritakan kejadiannya
serta maksud kedatangannya menghadap dengan si lelaki itu. Hakim itu lalu
berkata, "Mungkin ia tidak sengaja." Bangsawan itu membantah.
Sementara si lelaki itu diam saja seribu bahasa. Setelah mengajukan beberapa
kemungkinan yang selalu dibantah oleh bangsawan itu, akhirnya hakim mengajukan
pertanyaan kepada lelaki tukang kayu bakar itu. Namun, setiap kali hakim itu
bertanya, ia tak menjawab sama sekali, ia tetap diam. Setelah beberapa
pertanyaan yang tak dijawab berlalu, sang hakim akhirnya berkata pada bangsawan
itu, "Mungkin orang ini bisu, sehingga dia tidak bisa memperingatkanmu
ketika di pasar tadi."
Bangsawan itu agak geram mendengar perkataan hakim itu. Ia lalu berkata,
"Tidak mungkin! Ia tidak bisu wahai hakim. Aku mendengarnya berteriak di
pasar tadi. Tidak mungkin sekarang ia bisu!" dengan nada sedikit emosi.
"Pokoknya saya tetap minta ganti," lanjutnya.
Dengan tenang sambil tersenyum, sang hakim berkata, "Kalau engkau mendengar
teriakannya, mengapa engkau tidak minggir?" Jika ia sudah memperingatkan,
berarti ia tidak bersalah. Anda yang kurang memperdulikan peringatannya."
Mendengar keputusan hakim itu, bangsawan itu hanya bisa
diam dan bingung. Ia baru menyadari ucapannya ternyata menjadi bumerang
baginya. Akhirnya ia pun pergi. Dan, lelaki tukang kayu bakar itu pun pergi. Ia
selamat dari tuduhan dan tuntutan bangsawan itu dengan hanya diam.
Saudaraku,…
Dalam beberapa keadaan diam dapat menyelamatkan hidup
Anda. Dim itu meletakkan semua kemauan terhadap nafsu manusia dalam posisi
serendah-rendahnya. Sehingga manusia mampu mengendalikan diri dalam kewaspadaan
yang terjaga. Kebaikan diam inilah menjadikannya sebagai karakter seorang
muslim yang baik. Semoga kita diberikan kebaikan diam oleh Allah SWT. Tidak ada
Dzat yang mampu menolong kita dalam banyak keadaan, kecuali Allah SWT yang Maha
Kuasa.